Fenomena keagamaan memang menjadi hal yang selalu tidak terlepas
dalam sejarah peradaban manusia. Kesadaran atas fenomena tersebut juga menjadi
kajian dalam bidang akademik jurusan sosiologi agama IAIN Tulungagung. Dialog
lintas agama yang sebagai salah satu kegiatan mata kuliah fenomenologi agama
dilaksanakan pada 22 November 2018 di Vihara Buddhaloka Tulungagung.
Pada sesi pembukaan, Fardan Mahmudatul Imamah, S.Th.I, M.A selaku
dosen pengampu mata kuliah fenomenologi agama memaparkan bahwa kegiatan
kunjungan dan dialog lintas agama ini dilaksanakan sebagai wujud untuk
menciptakan rasa simpati dan juga empati pada mahasiswa terhadap agama-agama
diluar agama yang dianutnya. Sehingga mampu untuk bersikap plural dan saling
menghormati agama lain. Sebagaimana tujuan yang dipaparkan Bu Fardan, hal yang
sama juga ditegaskan oleh Bapak Romo Sugianto selaku pemateri.
Mengawali presentasinya, Bapak Romo menjelaskan harapan yang mana
nantinya setiap individu dapat menjelaskan pada masyarakat tentang agama budha
itu sendiri yang pada saat ini mulai sedikit. Juga banyak dari
keterangan-keterangan tidak benar tentang agama budha di masyarakat. Pada sesi
presentasi Bapak Romo menjelaskan tentang fenomenologi agama budha. Kata budha
yang biasanya sering familiar kita sebut sebetulnya adalah suatu kondisi yang
diperoleh setelah membersihkan kotoran. Sehingga Budha bukanlah personal atau
orang tetapi keadaan/ kondisi.
Bapak Romo melanjutkan penjelasanya tentang agama budha yang
mengenal 31 alam yang mana secara garis
besarnya terbagi atas alam apayabhumi (alam setan, binatang, neraka, iblis), alam
manusshabhumi (alam manusia), alam devabhumi (alam dewa), alam rupaabhumi dan
alam arupabhumi. Agama budha memiliki keyakinan bahwa tuhan diposisikan sebagai
sifat dan atau tuhan sebagai tujuan hidup.
Sidarta Gautama yang merupakan pendiri agama budha adalah seseorang
yang jenuh karena merasa terbakar oleh mata rantai kehidupan. Dengan berbagai
usaha meleburkan dirinya dengan tuhan ia memiliki resep tiga ajaran dalam menjalani
hidup, yaitu
1.
Perbanyak
perbuatan baik.
2.
Kurangi
keburukan.
3.
Bersihkan
hati.
Pengamalan
ajaran tersebut dapat memutus 12 mata rantai (siklus dikelahiran) dan menembus
kebebasan. Juga karena telah melampauinya. Pada kehidupan manusia ada suka dan
duka hingga ada orang yang memiliki tingkat religius tinggi. Bagi mereka yang
bisa melepas kesenangan duniawi sebagai sifat yang dimiliki manusia digambarkan
dengan simbol ular (bersifat bengis/kebencian yang kuat), babi (hanya
berpikiran untuk makan dan bodoh) dan ayam (mencari dengan makanan dengan
serakah) ia biasa disebut selamat.
Memutus 12 mata rantai tersebut berarti sudah manunggaling gusti
(menyatu dengan tuhan). Bila seseorang tidak melakukanya maka seseorang
tersebut akan selalu mengalami suka duka seterusnya berputar di 12 mata rantai
itu saja tidak dapat mencapai tingkat yang puncak yaitu jiwanya melebur dengan
tuhan. Pada penjelasan gambar yang ditampilkan pada dialog ini terdapat ekor
yang digambarkan melilit tanpa ujung (menyimbolkan pertanyaan siapa manusia
pertama di muka bumi ini). Pertanyaan itu begitu mendasar tapi sangat
universal, digambarkan romo seperti pada sebuah lapangan terdapat rumput-rumput
dan rumput-rumput itu dicabuti dan apabila mencari rumput yang paling pertama maka
itu sulit. Jadi manusia pertama dimuka bumi tidak diketahui.
Mata rantai diawali dengan batin dan suasana gelap, matanya tertutup
dilanjutkan mata rantai membuat perbuatan yang “berbuat” karena adanya keinginan
melakukan sesuatu, kemudian bersambung untuk berpikir, lalu melahirkan batin
dan jasmani dan dengan indera melakukan kontak, hidung, lidah, kulit dan
telinga. Dilanjutkan adanya perasaan dan adanya keinginan (mendapat dan
menolok) lalu kelekatan dan membuahkan hingga memunculkan kelahiran dan masa
tua.
Pada mata rantai (mas tua) akan ada konsekuensi akhir. Konsekuensi
tersebut sesuai dengan yang dijalani orang tersebut. Karena sesuai penjelasan
romo “kita mewarisi apa yang kita lakukan sendiri”. Artinya, dalam agama budha
seseorang akan mengalami suka dan duka dan apa yang dilakukan orang tersebut
akan sesuai dengan apa yang ia peroleh. Maka dalam ajaran inti yang telah di
dipaparkan sebelumnya adalah dasar bagi kehidupan. Seseorang harus
mengoptimalkan kebaikan didalam dirinya.
Api yang terbakar menyimbolkan terbakarnya nafsu. Raksasa hijau
adalah sang waktu yang menggambarkan sedang mencengkram sang waktu. Nirbana
adalah kondisi yang bisa didapatkan yang telah melepaskan kotoran. Jadi yang
dimaksud nirbana bukanlah tempat tetapi suatu kondisi. Ada tiga dalam fenomenologi
agama budha yang dipaparkan romo Sugianto yaitu tentang fenomenologi kondisi,
fenomenologi makhluk dan fenomenologi filosofi.
1.
Fenomenologi
kondisi
a.
Tiga
alam (Tiloka) yaitu kamala, rupaloka dan arupaloka.
b.
Sangsara
(gerak kehidupan yang terus berproses tanpa henti).
c.
Nibbana
(kondisi berhentinya/padamnya samsara).
d.
Tilakkhana
(anica, dukkha, anata).
e.
Panca
Niyama (hukum musim, hukum biologis, hukum perbuatan, hukum fenomena alam dan
hukum psikologis).
2.
Fenomenologi
Makhluk
Panca kandha, lima kelompok pembentuk kehidupan. Bila
diamati manusia terdiri dari dua bagian utama. Yaitu jasmani yang disebut rupa
dan batin yang disebut nama.
3.
Fenomenologi
Filosofi
Jalan mulia berfaktor delapan (Ariga atthangika mangga): sila
(moralitas), pamadhi (pengheningan), panya (kebijaksanaan) untuk memutus mata
rantai.
Dalam konsep kiamat yaitu adanya Budha metrea yang merupakan
penerus. Jadi menurut ajaranya akan ada kondisi dialam manusia agama budha akan
hilang dan terjadinya kerusakan moral lalu datanglah budha baru. Dalam budha
sendiri tetap memiliki satu ajaran tetapi dalam menyesuaikan wilayahnya menjadi
beberapa sekte. Hal itu menyesuaikan misal adanya buddha sekte tantrayana dan
lain-lain. Dalam patung budha sendiri terdapat gaya bermeditasi yang
berbeda-beda. Ada versi thailand, versi borobudur, versi hari rabu, versi hari
rabu siang dan versi hari rabu malam. Macam posisi meditasi menurut agama budha ada 4 yaitu posisi hidup, posisi
berdiri, posisi duduk dan posisi jalan. Jadi bisa saja dalam vihara yang satu
dengan vihara yang lain baik dalam Indonesia maupun diluar akan terdapat banyak
patung budha dengan berbagai gaya.
Diakhir sesi Romo menjelaskan bahwa yang disembah agama budha
sebenarnya bukan patungnya. Akan tetapi patung yang ada difungsikan sebagai
alat untuk titik fokus menghadap tuhan. Dengan adanya patung yang ada
diharapkan saat berdoa pikiran selalu fokus terhadap tuhan dengan melalui
bentuk patung budha tersebut. Setelah penjelasan selesai, karena waktu yang
semakin siang acara dialog lintas agama ditutup dengan foto bersama.
Oleh:
Amilatul Khasanah/ Sosiologi Agama III-A