Pengertian dan sejarah al banjari ialah:
Dalam versi ini, yang disebut sebagai
perintis adalah seorang keturunan Arab Habib Abu Bakar bin Idrus
Al-Habsyi yang akrab disapa Yik Bakar. Ia adalah salah seorang tokoh
masyarakat yang menggemari kesenian Islam. Melalui kesenian, solidaritas
umat Islam mudah disatukan Disela-sela latihan kesenian inilah,Yik
Bakar memberikan nasehat-nasehat keagamaan.
Dari situ,masyarakat semakin intens
berlatih kesenian Hadrah ini. Hadrah ini memiliki banyak pengikut.
Dahulu Hadrah tersebut belum dikenal dengan sebutan al-Banjari, akan
tetapi Majruran (majelis yang berjajar atau “sekumpulan yang
berbaris-baris”). Kegiatan kesenian ini kemudian menular ke daerah
lainnya.
Apalagi tatkala Yik Bakar memutuskan
berpindah ke Manyar, Gresik. Sejak berpindah ke Gresik, Yik Bakar
semakin bersemangat mengembangkan Hadrah ini. Dan, ketika ada sebuah
kesenian jenis baru bernama majruran, beberapa kelompok umat Islam
merasa lega dan memberikan waktu khusus untuk mempelajari dan
mengembangkan kesenian ini. Majruran semakin berkembang,
Selain Yik Bakar, terdapat nama lain
tidak tak bias dilepaskan dari sejarah Hadrah al-Banjari. Haji Basyuni,
beliau ialah salah satu nama perintis Hadrah bersama Yik Bakar. Berasal
dari Banjarmasin, pria ini tinggal di Tulungagung dengan berdagang. Duet
Yik Bakar dan Haji Basyuni inilah yang membuat kesenian Hadrah mampu
bertahan di awal perintisannya hingga saat ini.
Adapun Haji Basyuni, sebagai seorang
Banjar, juga memiliki kecintaan terhadap tradisi berkesenian Hadrah di
kampung halamannya. Pertemuan dua pecinta seni inilah yang ikut
memberikan warna menarik bagi perkembangan Hadrah al-Banjari Jika
pendapat pertama di atas menilai bahwa perintisan Hadrah al-Banjari
dimulai dari Tulungagung atas dorongan Yik Bahar.
Di versi lain yaitu ada yang mengatakan
bahwasannya al banjari itu disebarkan oleh Ustadz Chumaidi Abdul Majid
yang berasal dari dari Tapaan Pasuruan, sedangkan kedua bernama Muhammad
Zaini Abdul Ghani atau yang lebih dikenal dengan nama Guru Zaini dari
Martapura Banjarmasin. Keduanya belajar menuntut ilmu kepada Kiai
Syarwani di Pondok Pesantren Datuk Kalampayan Bangil.
Setelah lulus dari pesantren tersebut,
baik Ustadz Chumaidi maupun Guru Zainiberdakwah di masyarakat. Di antara
metode dakwahnya adalah dengan menggunakan media musik Hadrah
al-Banjari sebagai daya pikat bagi masyarakat.
Ustadz Chumaidi menyebarkannya di
kawasan Bangil, Pasuruan, Probolinggo, dan daerah di Jawa Timur,
sedangkan Guru Zaini menyebarkan kesenian ini di daerah asalnya, yaitu
Martapura Banjarmasin. Karena orang lebih mengenal dengan Guru Zaini
yang berasal dari Banjarmasin, maka kemudian seni Hadrah tersebut lebih
dikenal menjadi Hadrah al-Banjari. Nama inilah yang hingga kini melekat
di benak masyarakat dan menjadi cirikhas tersendiri.
Hadrah atau biasa yang dikenal dengan
al-banjari merupakan kegiatan membaca sholawat dengan diiringi alat
musik terbang. Seni al banjari memiliki irama yang menghentak, rancak
dan variatif. Kesenian ini seringkali digelar dalam acara-acara seperti
maulid nabi, isra’ mi’raj atau hajatan semacam sunatan dan pernikahan.
Keunikan banjari adalah hanya terdapat
satu alat musik yaitu rebana yang dimainkan dengan cara dipukul secara
langsung oleh tangan pemain tanpa menggunakan alat pemukul.
Musik ini dapat dimainkan oleh siapapun
untuk mengiringi nyanyian dzikir atau sholawat yang bertemakan
pesan-pesan agama dan juga pesan-pesan sosial budaya. Umumnya
menggunakan bahasa Arab, tapi belakangan banyak yang mengadopsi bahasa
lokal untuk kesenian ini.
http://qosfada.com/2016/11/17/inilah-sejarah-al-banjari-yang-wajib-diketahui/
0 comments:
Post a Comment