Jumat, 19 Februari 2021 pukul 19.00-21.00 Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sosiologi Agama mengadakan kegiatan diskusi daring mingguan yang bernama FORMAD (Forum Mahasiswa FUAD) dengan tema “Neofungsionalisme Struktural” yang dipantik oleh Gusti Ramahda Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulunggagung dan ditemani oleh moderator Defi Tri Astuti Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulunggagung. Diskusi ini dilakukan secara virtual di rumah masing-masing melalui WhatsApp Grup.
Tema kali ini membahas tentang Gambaran Neofungsionalisme, Orientasi dasar, Perspektif pemikiran tokoh, Topik permasalahan. Neofungsionalisme merupakan rekonstruksi dari teori fungsionalisme struktural dengan tujuan dapat membangkitkan kembali dan memberikan dasar untuk pengembangan tradisi teoritis yang baru. Teori ini muncul karena adanya kritik dari fungsionalisme struktural sedangkan neofungsionalisme digunakan untuk menandai kelangsungan hidup tetapi juga sekaligus menunjukkan bahwa sedang dilakukan upaya memperluas dan mengatasi kesulitan utamanya.
Jeffrey Alexander dan Paul Colomy menyebutkan bahwa neofungsionalisme sebagai rangkaian kritik diri teori fungsional yang mencoba memperluas cakupan intelektual fungsionalisme yang sedang mempertahankan inti teorinya (1985). Fungsionalisme dibawa oleh Emile Durkheim yang dikembangkan ke Amerika pada pasca perang dunia bergejolak yang dimana pemerintah mencari sosiolog ternama dengan pendekatan pendekatan mayarakat.
Menurut perspektif dari Alexander bahwa orientasi dibagi menjadi enam yaitu; Pertama, neofungsionalisme bekerja dengan model masyarakat deskriptif. Kedua, neofungsionalisme memusatkan perhatian yang sama besarnya terhadap tindakan dan keteraturan. Ketiga, neofungsionalisme tetap memperhatikan masalah integritas, tetapi bukan dilihat sebagai fakta sempurna melainkan lebih dilihat sebagai kemungkinan sosial. Keempat, neofungsionalisme tetap menerima penekanan personalisasi tradisional atas kepribadian, kultur, dan sistem sosial. Kelima, neofungsionalisme memusatkan perhatian pada perubahan sosial dalam proses diferensiasi didalam sistem sosial, kultural, dan kepribadian. Keenam, neofungsionalisme secara tidak langsung menyatakan komitmennya terhadap kebebasan dalam konseptualisasi dan menyusun teori berdasarkan analisis sosiologi pada tingkat lain.
Secara umum terdapat orientasi dasar Neofungsionalisme Struktural yaitu; Pertama, dijalankan dengan suatu model deskripsi memandang masyarakat sebagai kesatuan elemen yang berinteraksi satu dengan yang lainnya. Kedua, mencurahkan perhatian yang sama pada aksi dan order. Ketiga, mempertahankan kepentingan stuktur fungsionalisme dalam integrasi bukan hanya sebagai fakta sosial melainkan sebagai sosial possibility.
Pernyataan mengenai teori neofungsionalisme yang bersangkutan dengan fungsionalisme struktural bahwa lahirnya teori neofungsionalisme merupakan kritik terhadap struktur fungsionalisme yang dianggap terlalu menekankan pada masyarakat manusia yang bersifat harmoni, stabil, dan terintegrasi dengan baik. Karena penekanan yang berlebihan kepada harmoni dan stabilitas maka neofungsionalisme cenderung mengabaikan potensi konflik sosial. Maka fungsionalisme mengarah pada bias konfervatif dalam kehidupan sosial yakni cenderung mempertahankan segala yang ada dalam masyarakat.
Teori neofungsionalisme terdapat perbedaan diksi karena dapat dilihat dalam buku teori sosial kontemporer yang membahas tentang fungsionalisme ataupun neofungsionalsme lahir karena yang menguatkan ataupun sebagai pondasi dasar adanya kelemahan teori fungsionalisme strukural dan timbulnya masalah. Terdapat stigma yang menggap bahwa teori neofungsionalisme tidak bisa booming di kalangan profesor sosiolog terkemuka karena sebagai alian-alian isu tentang teori neoungsionalisme, pada zaman Emile Durkheim menganggap teori ini hanya sebagai isu saja.
Pemikiran Alexander dan Colomy mengindikasikan pergeseran menjauh dan tendesi parsonsian untuk melihat fungsionalisme stuktural sebagai teori besar. Sebaliknya, mereka menawarkan teori yang lebih terbatas dan sintesis, namun tetap holistik. Akan tetapi seperti ditunjukan pada awal abad ini, masa depan neofungsionlisme diragukan karena fakta bahwa pendiri dan eksponen utamanya kurang dikenal ataupun teori besar yang dibawa oleh Emile Durkheim. Neofungsionalisme muncul ketika beredar sebuah isu atau permasalahan kulit hitam di Amerika, perang dunia kedua lalu pada waktu itulah para sosiolog dikumpulkan.
Fungsionalisme cenderung mengabaikan potensi konflik sosial yang merupakan ciri dasar dari kebanyakan masyarakat. Dengan mengabaikan konflik sosial dan mengedepankan harmoni dalam masyarakat, maka fungsionalis mengarah pada bias konservatif dalam kehidupan sosial, yakni cenderung mempertahankan segala yang ada dalam masyarakat. Masyarakat yang dikaji hanya tertuju pada satu pada satu masa tertentu saja, sehingga mengabaikan dimensi historis dalam mengkaji kehidupan masyarakat. Akibatnya, sangat sulit menjelaskan perubahan sosial dalam konteks prespektif materialis dan prespektif konflik.
Dalam Neofungsionalisme menggunakan istilah action dan order sebagai istilah lain dari agency dan struktur. Alexander mengemukakan bahwa terdapat keseimbangan antara aksi dan order. Isu utama dalam teori aksi adalah apakah aksi diterima secara rasional atau tidak. Alexsander memberikan makna rasionalisme sebagai aksi untuk mecapai tujuan normative yang lebih luas dalam perilaku manusia. Adapun permasalahan Order adalah bagaimana pola penempatan unit individu pada struktur sosial non-random dengan segala motifnya.
Perbedaan teori Neofungsioanlisme dengan Fungsionalisme struktural ialah dapat dilihat melalui pandangan antara dua teori yakni teori fungsionalisme lebih ke statis dan tidak berubah, sedangkan neofungsioanalisme lebih kepada kehidupan masyarakat yang dinamis dan cakupan ilmu teori yang lebih luas pada konflik yang ada di masyarakat.
Awal teori neofungsionalisme muncul untuk mengatasi permasalahan yang tidak bisa diselesaikan fungsionalisme struktural, solusi yang ditawarkan teori neofungsionalisme berhasil menyelesaikan masalah dari fungsionaisme seperti konflik, konservatisme. Namun teori neofungsionalisme muncul bukan untuk mengatasi permasalahan yang tidak bisa diselesaikan pada fungsionalisme struktural karena ini terjadi penurun dasar dan teori yang cenderung mengabaikan potensi konflik sosial yang merupakan ciri dasar dari kebanyakan masyarakat. Fungsionalisme struktural tidak bisa dikatakan mengabaikan konflik ynag ada dalam masyarakat karena pada kenyataanya justru lebih dekat dengan masyarakat mengenai struktur sosial, fungsi sosial bisa diterapkan dalam masyarakat meski secara garis besar fungsionalisme struktural mempertahankan keteraturan yang ada dalam masyarakat.
Permasalahan order adalah bagaimana pola penempatan unit individu pada struktur sosial non-random dengan segala motifnya, hal itu merupakan orientasi dasar neofungsionalisme “mencurahkan perhatian yang sama pada aksi dan order.” Hal ini menghindari kecenderungan fungsionalisme yang hanya mengacu pada order level makro. Neofungsionalise juga memberikan pengertian yang luas bukan hanya bersifat rasional melainkan juga aksi ekspresif, level makro itu memberikan pengertian yang luas pada teori neofungsionalisme bukan hanya sudut pandang yang kecil.
Kelemahan dan kelebihan dari diterapkannya neofungsionalisme dalam kehidupan dapat dilihat pada kelemahannya cenderung pada obyek dari neofungsionalisme cakupannya luas bukan hanya bersifat rasional melainkan juga aski ekspresif. Kelebihannya dapat dilihat dari mempelajari teori yang bersifat terbuka. Dalam buku George Ritzer tentang teori sosoiolgi bahwa neofungsionalisme menghindari tendensi fungsionalisme struktural yang nyaris secara eksklusif fokus pada sumber-sumber ketertiban level makro didalam struktur sosial dan kebudayaan dan tidak banyak memerhatikan pola-pola tindakan yang lebih berlevel mikro (Schwinn, 1998).
Referensi:
Wirawan, Teori-Teori Sosial Dalam Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial, Dan Perilaku Sosial), Jakarta: Kencana, 2012.
Rahma Sugiharti, Perkembangan Masyarakat Informasi Dan Teori Sosial Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2014
Penulis : Defi Tri Astuti