event

MUSYAWARAH TAHUNAN JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA IAIN TULUNGAGUNG ANGKATAN 2018

MALIKA FC

TIM UTAMA FUTSAL SOSIOLOGI AGAMA IAIN TULUNGAGUNG "MALIKA FC"

event

pacitan

SAVE PACITAN

kegiatan bakti sosial bersama LTNU di Pacitan, dengan agenda trauma hearing

Sosiologi Agama adalah salah satu program studi di lingkungan IAIN Tulungagung.yang bernaung di bawah Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD). SALAM SATU WARNA

Tuesday, April 6, 2021

Teori Moderenitas Sebagai Pengenalan Perkembangan Zaman

Penulis : Laila Afifah

    Jumat, 2 April  2021 pukul 19.00-21.00 Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sosiologi Agama mengadakan kegiatan rutin diskusi daring mingguan yang bernama FORMAD (Forum Mahasiswa FUAD) dengan tema “moderenitas” yang dipantik oleh M. Wahyu Ilahi  Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung dengan ditemani sang moderator Hanum Khumeidatul Khasanah Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Diskusi malam  ini dilakukan secara daring/online di tempat tinggal masing-masing melalui media WhatsApp Group.

    Tema kali ini membahas mengenai teori Moderenitas secara historis, menurut para tokoh dan kritik terhadap moderenitas.

    Pada dasarnya seluruh bangsa dan masyarakat di dunia ini akan selalu terlibat pada proses modernisasi, meskipun kecepatan dan arah perubahannya berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Hal ini tentunya akan menimbulkan penemuan-penemuan baru dalam hal teknologi, misalnya; dahulu kala saat kita ingin memberikan kabar kepada saudara kita yang jauh harus melaui surat untuk dikirim ke tukang pos, namun di era yang semakin modern dan canggih ini tentu menjadi lebih mudah dengan menggunakan handphone, kita sudah dapat memberi kabar saudara yang jaraknya jauh dari kita, bisa melalui SMS ataupun Telfon.

    Teori Moderenisasi lahir pada tahun 1950 di Amerika Serikat, Teori ini muncul karena respon-respon dari kaum intelektual terhadap perang dunia, selain itu teori ini di anggap sebagai jalan optimis terhadap perang dunia antara kaum sosialis dan kapitalis. Teori Modernisasi sendiri merupakansalah satu penemuan terpenting dari perjalanan kapitalisme di bawah kepemimpinan Amerika Serikat. Secara istilah modernisasi merupakan ilmu sosial yang merujuk pada sebuah bentuk transformasi dari keadaan yang kurang maju atau kurang berkembang kea rah yang yang lebih baik dengan harapan akan tercapai kehidupan masyarakat yang lebih maju, berkembang dan Makmur.Pada formad kali ini kita membahas tiga tokoh teori modernisasi, yaitu Anthoni Geddens, Ritzer dan Jurgen Habermas.

Anthoni Geddens

    Anthoni Geddens merupakan terkenal dengan teori strukturalisnya, ia menjelaskan dunia modern dengan konsep juggernaunt. Giddens juga menggambarkan moderenitas dalam empat institusi dasar, 1.)Adanya produk komoditas;2.)Penguasaan capital secara privat; 3.) Penggunaan tenaga kerja; 4.) Munculnya sistem kelas. Disini Giddens meyakini bahwa modernisasi mengakibatkan kecenderungan pada diri dan informasi identitas pada masyarakat. Halini tentu berdampak padamasyarakat, sehingga masyarakat lebih mementingkan identitas sosial, selain itu, juga berdampak pada menurunnya tradisi-tradisi di masyarakat, seperti; gotong royong dan lain sebagainya.

Ritzer

    Dalam teori modernitas Ritzermenggambarkan masyarakat modern sebagai sebuah tatanan konsumsi, masyarakat modern ditinjaunya dari bagaimana masyarakat tersebut mengkonsumsi dan bagaimana kultur konsumen memberi warna yang khas pada masyarakat modern, pada teori ritzer yaitu efesiensi mencari cara yang terbaik untuk mencapai hasil, adanya sistem rasional yang lebih menekankan kuantitas dibandingkan kualitas.

Jurgen Habermas

    Menurut Jurgen Habermasmoderenitas adalah proyek yang tidak memiliki akhir, ia meyakini bahwa sistem sosial tumbuh semakin kompleks, terintegrasi, atau melakukan pembaruan yang menjadikan kesatuan yang utuh dalam masyarakat dan dicirikan oleh alasan instrumental.

   Teori ini tentu banyak menuai kritikan, salah satunya menurut Horkheimer. Ia berpendapat bahwa moderenitas adalah pemahaman moderinitasyang keliru, jika dijadikan sebagai perwujudan rasio murni dalam bentuk yang objektif dan bebas nilai. Perspektif moderenitas yang demikian melanggengkan dikotomi, akibatnya tidak ada transformasi sosial yang dihasilkan  oleh rasionalitas modern. Selain itu, ada juga kritikan menggunakan Teori kritis, dapat dianalisis bahwa masyarakat sebagai kenyataan sosial dan bukan sebagai kenyataan objektif dan bebas nilai. Teori kritis memungkinkan emansipasi kelas sosial yang tadinya secara objektif terkotak-kotak dan terpisah satu sama lain sebagai masyarakat berkelas.   

“FEMINIS KONTEMPORER: Pemahaman Awal Perjuangan Hak-Hak Perempuan”

Penulis : Vindyana Cipta Saputri

Jumat, 26 Maret 2021 pukul 18.00-20.40 Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sosiologi Agama mengadakan kegiatan diskusi daring mingguan yang bernama FORMAD (Forum Mahasiswa FUAD) dengan tema “Feminis Kontemporer” yang dipantik oleh Safa Intan Nurfadila Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung ditemani oleh Mohamad Irvan Ma’arif Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Diskusi ini dilakukan secara virtual dirumah masing-masing melalui whatsapp grup.     
Tema kali ini membahas tentang feminis kontemporer, pengertian feminisme menurut tokoh-tokoh dan secara umum, perkembangan feminisme, pengertian dan perbedaan gender, ketidaksetaraan dan penindasan gender. Secara umum feminisme diartikan sebagai keyakinan, gerakan dan usaha untuk memperjuangkan kesetaraan posisi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Feminisme sifatnya adalah patriarkis. Patriarkis adalah sebuah sisitem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.
Adapun pengertian feminisme menurut beberapa tokoh yaitu: Pertama, Sarah Gamble dalam Hodgson-Wright mengartikan feminisme sebagai keyakinan bahwa perempuan murni dan semata-mata karena mereka perempuan, diperlakukan secara tidak adil dalam masyarakat yang diatur untuk memprioritaskan sudut pandang dan kepentingan laki-laki. Kedua, menurut Jenainati dan Groves feminisme merupakan perjuangan untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan. Ketiga, menurut Ross feminisme adalah semua usaha yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi perempuan. 
Awal perkembangan feminisme sendiri diawali pada tahun 1550-1700 di Inggris. Dalam perkembangannya feminisme dibagi menjadi tiga gelombang yakni Pertama, diawali dengan adanya tulisan Mary Wollstonecarft The Vindication Of The Rihts Of Woman pada tahun 1792. Dalam karyanya tersebut Mary menginspirasi gerakan dan perjuangan perempuan hingga berlanjut pada abad ke-20 dimana kaum perempuan berhasil mencapai hak pilihnya (hak politik). Dalam tulisannya yang berjudul Wollstonecarft The Vindication Of The Rihts Of Woman May menuliskan bahwa, “Perempuan  secara alamiah tidak lebih rendah dari laki-laki, tetapi terlihat seperti itu hanya karena mereka tidak memperoleh banyak pendidikan”. Di gelombang pertama feminisme sendiri lebih berfokus pada kesenjangan politik, terutama dalam memperjuangkan hak pilih perempuan di bidang politik. Feminisme dibagi menjadi tiga yaitu, feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme marxis.
Kedua, dimulai pada tahun 1960-an yang ditandai dengan The Feminine Mystique (Freidan,1963) berdirinya National Organization For Woman, dan munculnya kelompok-kelompok Conscious Raising (CR) pada akhir tahun 1960-an. Pada gelombang kedua inilah akhirnya muncul berbagai reaksi kaum perempuan (feminis) atas ketidakpuasannya terhadap berbagai praktik diskriminasi. Pada feminisme gelombang pertama hal ini sebenarnya telah dicapai, namun dalam praktiknya pada feminisme gelombang kedua ini praktinya lebih terealisasikan secara maksimal. Feminisme pada gelomang ini dibagi menjadi dua, yaitu feminisme psikoanalisa dan feminisme eksistensisme. 
Ketiga, feminisme pada gelombang ini disebut sebagai posfeminisme. Demikian banyak tokoh feminis yang menganggap bahwa gelombang ini disebabkan karena posfeminisme gerakan yang menolak gagasan gelombang kedua. Dilihat dari ide dan gagasannya sendiri feminisme mengusung keragaman dan perubahan. Pada tahun 1980 hingga sekarang ini, feminisme sangat dipengaruhi oleh postmodernisme yang merupakan pencetus lahirnya gelombang ketiga. Menurut Lyotard dan Vattimo pengaruh postmodernisme terhadap feminisme gelombang ketiga dapat dilihat dari keempat ciri tersebut yaitu pertama, menawarkan pendekatan revolusioner pada studi-studi sosial. Kedua, menolak humanisme dan kebebasan tunggal. Ketiga, mempertanyakan rigiditas pembacaan antara ilmu alam (humaniora, ilmu sosial, seni dan sastra, fisksi dan teori, image, dan realitas). Keempat, berfokus pada wacana alternatif (postmodernisme mencoba melihat kembali apa yang telah dibuang, dilupakan, dianggap irasional, tidak penting, tradisional, ditolak, dimarginalkan, dan disunyikan). 
Pada gelombang ketiga ini feminisme dibagi menjadi dua yaitu Feminisme Postmodern dan Feminisme Mutkultural. Feminisme ini bertitik pada kutipan sebagai dasar intelektual. Ia memandang bahwa realitas adalah teks, baik berbentuk lisan, tulisan, maupun image dalam pengupayaan kritikan. Feminisme postmodern menolak cara berfikir yang fanatik atau tradisional, ia lebih menekankan pada interpretasi yang plural daripada subjektivitas. 
Adanya pengaruh eksistensialisme, psikoanalisis, dan deskontruksi sangat terasa dalam aliran ini. Feminisme postmodern menganggap perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus menerima dan terpelihara. Perempuan harus pandai membongkar narasi besar, realitas, konsep kebenaran, dan bahasa. Upaya inilah yang kemudian melahirkan beberapa langkah dalam merekonstruksi pengalaman perempuan dalam dunia laki-laki. Perempuan harus membentuk bahasa dan seksualitas untuk menyimpulkan dirinya sendiri. 
Feminisme multikultural ini senada dengan teori aliran sebelumnya, juga dapat dilihat melalui individu sebagai suatu yang terpecah belah. Oleh karena itu, feminisme multikultural lebih menyoal ide ketertindasan perempuan bertanya dari satu frasa bukan dari kelas dan ras, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Secara historis feminisme multikultural pertama kali berlangsung di Amerika Serikat. Dimana ideologi mendukung adanya diversifikasi (ide tentang perbedaan) menjadi sebuah pilihan. 
Hingga memasuki abad ke-20, ide asimilasi dan identias tunggal menjadi pilihan yang kuat. Pada akhirnya etnisitas sekaligus integrasi melahirkan multikulturalisme yang berpengaruh kuat pada aliran feminisme multikultural. Penyambutan baik terhadap multikulturalisme didasarkan atas pengagungan pada ide perbedaan yang merujuk pada kalangan feminis  multikultural semua orang sesungguhnya berbeda-beda, baik secara agama, warna kulit, ras, dan lain sebagainya.
 Dalam mempelajari feminisme tidak lupa kita juga harus paham mengenai apa itu gender, perbedaan gender, ketidaksetaraan gender, serta penindasan gender. Istilah gender sering kali kita dengar, namun sebenarnya apakah gender itu? Gender sering sekali disebut sebagai jenis kelamin, secara umum pengertian gender sendiri adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh kontruksi sosial, budaya, maupun psikologi. Contohnya, jika laki-laki biasanya jalan cepat mengangkang dan gagah sedangkan perempuan cenderung pemalu, duduk rapi.
 Perbedaan gender adalah teori yang melukiskan, menjelaskan dan melacak implikasi cara pria dan wanita sama atau tidak sama baik dalam hal perilaku dan pengalaman. Ketidaksetaraan gender adalah situasi dimana pria dan wanita mendapatkan perilaku diskriminatif dengan membandingkan tingkatan keduanya di dalam masyarakat. Ketidaksetaraan tersebut dihasilkan dari pengorganisasian masyarakat, bukan dari perbedaan biologis ataupun kepribadian yang signifikan diantara wanita dan pria. Sedangkan pengertian penindasan gender sendiri adalah situasi wanita secara sentral mendominasi dan penindasan oleh pria, pola itu dipadukan dengan cara yang paling meresap di dalam organisasi masyarakat, suatu susunan dasar dominasi paling lazim disebut patriarki. Patriarki merupakan masyarakat diatur untuk mengistimewakan laki-laki di dalam segala aspek kehidupan sosial.
     

Memahami ETNOMETODOLOGI

 Penulis: Defi Tri Astuti

    Jumat, 19 Maret 2021 pukul 19.00-21.00 Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sosiologi Agama mengadakan kegiatan diskusi daring mingguan yang bernama FORMAD (Forum Mahasiswa FUAD) dengan tema “Etnometodologi” yang dipantik oleh Siti Maryam Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung dan ditemani oleh moderator Laila Nur Afifah Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Diskusi ini dilakukan secara virtual di rumah masing-masing melalui WhatsApp Grup.

    Tema kali ini membahas tentang Gambaran Etnometodologi, Tercetusnya Etnometodologi, Cara pandang Garfinkel dalam Etnometodologi, Perspektif Garfinkel dan Emile Durkheim dalam mempertimbangkan Etnometodologi, Klasifikasi Sosiologi dan Etnometodologi, Analisis Percakapan, Penerapan analisis percakapan, Kajian lembaga, Kelemahan dan kelebihan.

    Menurut Mudjia Rahardjo, Etnometodologi berasal dari tiga kata Yunani “etnos”, “metodas”, dan “Logos”. Etnos artinya orang, metodos artinya metode, dan logos berarti ilmu, secara hafiah etnometodologi studi atau ilmu tentang metode yang digunakan untuk meneliti bagaimana individu-individu menciptakan dan memahami kehidupan mereka sehari-hari, seperti cara mereka menyelesaikan pekerjaan di dalam hidup sehari-hari. Sedangkan menurut Gafrinkel Etnometodologi yakni himpunan pengetahuan akal sehat dan deretan prosedur-prosedur dan pertimbangan yang digunakan para anggota masyarakat awam untuk memaknai, menemukan jalan, dan bertindak menghadapi kondisi mereka menemukan diri.

     Etnometodelogi diciptakan oleh Harold Gafrinkel pada 1940 an tetapi pada tahun 1967 baru pertama kali dibomingkan dengan penerbitan karyanya Studies In Ethnomethodology. Seiring berkembangnya masa etnometodelogi mengalami perkembangan Don Zimmerman menyimpulkan bahwa sudah ada beberapa variaetas etnometodelogi. Zimmeran menyatakan etnometodelogi meliputi “sejumlah gagaris-garis penelitian yang kurang cocok (1978)”, sepuluh tahun kemudian Paul Atkinson (1988) mengaris bawahi kurangnya koherensi di dalam etnometodelogi dan berargumen lebih jauh bahwa setidaknya beberapa etnometodolog telah menyimpang terlalu jauh dari premis-premis mendasari pendekatannya.

    Cara pandang etnometodelogi Garfinkel tidak lepas dari tokoh sosiologi terkemuka seperti Talcott Parsons karena studi etnometodologi memerlukan kedalaman pengamatan secara detail tentang praktik kehidupan keseharian masyarakat melalui observasi secara langsung mengenai percakapan mereka atau bisa direkam melalui video, karena lebih bertumpu pada percakapan sehari-hari (cerita) individu, maka etnometodologi berpengaruh sangat besar pada kelahiran metode analisis percakapan. Asumsinya adalah percakapan atau cerita merupakan cara orang mengkonstruksi realitas.

    Garfinkel mempertimbangkan etnometodologi dengan fakta-fakta sosial seabagai fenomena frundamental, akan tetapi fakta sosial Garfinkel sangat berbeda dengan fakta-fakta sosial Emile Durkheim. Bagi Durkheim, fakta-fakta sosial eksternal bagi dan bersifat memaksa kepada para individu dan para aktor tidak dapat dipisahkan dari struktur-struktur, lembaga-lembaga sosial yang tidak dapat mengontrol pertimbangan independen. Namun bagi etnometodelogi realitas objek-objek fakta sosial, terdapat di dalam persis di setiap masyarakat, baik secara lokal dan endogen, mengorganisirnya secara alami, dengan demikian merupakan fenomena frundamental sosiologi. 

    Menurut klasifikasi sederhana ini, etnometodologi adalah satu teori sosiologis sebagai:

Pertama, didasarkan pada karya Max Weber tentang aksi sosial 

Kedua, berkaitan dengan definisi dan tindakan sosial 

Ketiga, menggunakan berbagai pendekatan metodologis. 

    Klasifikasi Ritzer pertama kali dikembangkan pada tahun 1975 dan dipertahankan di versi terbarunya buku, tetapi dengan pemeriksaan lebih dekat dari arah teoritis yang lebih baru, teori sistem dalam paradigma fakta sosial dan eksistensialisme dalam sosial definisi paradigma. Diskusi Ritzer diringkas di sini karena memberikan wawasan pertama tentang apa etnometodologi adalah dan di mana perspektif dapat ditempatkan dalam sosiologi sebagai disiplin. Seperti bentuk lain, ini adalah gambaran sederhana dari berbagai paradigma atau perspektif dalam sosiologi. Misalnya, beberapa akan kehilangan penempatan perspektif post-modern.

    Orang lain akan tidak setuju di lokasi yang berbeda teori dan banyak ahli etnometodologi tidak akan setuju bahwa etnometodologi adalah teori sama sekali, melainkan cara yang secara fundamental baru dalam mempelajari sosial fenomena Etnometodologi, Kontribusi Norwegia awal. Dalam konteks sejarah, mungkin menarik untuk melihat lebih dekat bagaimana seorang sosiolog Norwegia memahami etnometodologi. Kontribusinya tidak adil sejarah yang menarik; itu sebenarnya juga menyediakan salah satu dari awal yang paling mudah dibaca pengantar beberapa dasar etnometodologi. Thomas Mathisen (1975) mempresentasikan dalam presentasinya tentang etnometodologi tiga model utama yang dia temukan bermanfaat dalam studi tentang apa yang dia lakukan pada masa itu jargon menyebutnya "struktur dan perkembangan masyarakat". Model diberi nama norma, pengalaman dan model paksaan, masing-masing.

    Analisis percakapan memiliki tujuan yakni mempelajari cara-cara pengaturan percakapan yang sudah dianggap benar seperti struktur frundamental interaksi percakapan. Percakapan adalah suatu aktivitas rasional yang menunjukkan sifat yang stabil atau teratur merupakan prestasi orang yang bercakap-cakap yang dapat dianalisis. Percakapan ini terdapat suatu titk fokus yakni pembatasan-pembatasan internal. Zimmerman memerinci terdapat lima kerja dasar analisis percakpan:

 Pertama, analisis percakapan memerlukan himpunan dan analisis atas data yang sangat rinci mengenai percakapan-percakapan.

Kedua, rincian paling baik dari suatu percakapan pun harus dianggap sesuai suatu pencapaian yang rapi. 

Ketiga, interaksi pada umumnya dan percakapan pada khususnya mempunyai sifat-sifat stabil yang rapi merupakan prestasi para aktor yang terlibat.

Keempat, kerangka percakapan frundamental yakni pengaturan kuensial 

Kelima, secara metodelogis, para analisis percakapan mendorong untuk mempelajari percakapan-percakapan di dalam situasi yang terjadi secara alamiah, sering menggunakan audiotape atau videotape.

    Penerapan-penerapan analisis percakapan anatara lain;

Pertama, Percakapan-percakapan telepon: identivikasi dan pengakuan, Schegloff melihat permulaan percakpantelepon, yang dia definisikan sebagai “suatu tempat yang di dalamnya tipe percakapan dapat dibuka diajukan, ditampilkan, diterima, ditolak, dimodifikasi durasi, disusun pertemuan peserta. 

Kedua, Memulai tertawa, Menurut Gail Jefferson ketawa adalah suatu peristiwa yang seluruhnya bebas disepanjang serangkaian percakapan dan interaksi.

Ketiga, Menghasilkan tepuk tangan, Jhon Heritage dan David Greatbatch mereka berargumen bahwa tepuk tangan dihasilkan oleh pernyataan-pernyataan secara verbal disusun. Terdapat tujuh peralatan teoritis dasar yaitu: kontras, daftar, solusi membingungkan, bagian utama,kombinasi, mengambil posisi, dan pengejaran. 

Keempat, Kemunculan interaktif kalimat-kalimat dan cerita-cerita, Charles Goodwin berpandangan bahwa kalimat-kalimat muncul bersama percakapan, faktanya pembicara dapat merekontruksi makna kalimat sewaktu dia sedang menghasilkannya untuk mempertahankan kepantasan bagi penerimanya pada saat itu.

     Kajian lembaga dalam etnometodologi meliputi; Wawancara kerja, Panggilan telepon kepusat-pusat darurat, Negosiasi-negosiasi eksekutif, Memecahkan pertengkaran di dalam dengar pendapat mediasi.

     Etnometodologi sebagai sebuah varian dalam penelitian kualitatif, tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan etnometodologi sangat tepat digunakan untuk meneliti sikap individu-individu dalam organisasi atau institusi. Misalnya, untuk memahami cara orang melaksanakan tugas kantor, sekolah atau perusahaan dan proses yang terjadi dalamnya. Sedangkan kekurangan etnometodologi misalnya, tidak tepat digunakan untuk meneliti sikap dalam lingkup yang luas. Untuk meneliti sikap dalam lingkup luas lebih tepat menggunakan survei.

    Etnometodologi jika dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan lainnya sedikit berbeda dalm penelitian kualitatif menggunakan asumsi teori proposisi dan kegiatan pengkajian yang ada pada fenomena-fenomena tersebut. Sedangkan pendekatan lainnya ialah peneliti melihat fenomena dengan berbekal asumsi-asumsi atau teori memahami fenomena yang dikaji. Alasan Etnometodologi berbeda karena berfokus pada individu dan menggunakan percakapan keseharian. Kalau Etnometodologi berfokus pada budaya masyarakat atau anggota masyarakat disebut etnografi.

    Dalam sutau tindakan peristiwa disebut fenomenologi. Dan etnologi sendiri lebih berfokus dunia kontruksi individu-individu didalamnya yang memahami suatu akal sehat yang berlaku dan makna yang diterima secara bersama-sama. Etnometodologi dan interaksionalisme simbolik ini sangat berkaitan seperti yang dipaparkan oleh Garfinkel bahwa etnometodologi merupakan himpunan akal sehat dari deretan prosedur pertimbangan. Dapat ditemukan melalui percakapan individu, jika dikaitkan pada interaksionaisme simbolik dapat ditemukan pemikiran dari George Herbertnith mengenai pikiran. Ia menganggap bahwa proses pemikiran atau percakapan batin dengan diri sendiri tidak ditemukan daam individu, pikiran ini muncul dan berkembang dalam proses sosial bagian internal. 

    Yang kedua mengenai “Diri” secara umum diri sendiri sebagai objek dan diri bisa menempatkan diri atau kemampuan yang khas untuk menjadikan obyek. Etnometodologi pada dasarnya adalah perspektif Amerika yang tidak kebanyakan perspektif ilmu sosial lainnya. Di Norwegia istilah itu pertama kali muncul pada tahun 1975 minat teoritis berkembang didalam sosiologi semakin meningkat baik konsep, pemikiran, dan sebagainya. Pada tahun 1940 an akhir pencetus etnometodologi Garfinkel menemukan karya tersebut  namun tidak saat iitu langsung bisa disahkan. Pada tahun 1968 baru disahkan dan ditemukan beberapa tokoh pengkritik teori.


     

Sumber: Ritzer George, Teori Sosiologi; dari klasik sampai perkembangan terakhir posmoderent, Yogjakarta: Pusat pelajar. 2012.  

Public Speaking Class

 Penulis:

1. Ineliyant Intan Ayu

2. Vina Khasanah N.

3. Budi Hidayatullah


     Selasa, 16 Maret 2021 pukul 19:00-21:00 Himpunan Mahasiswa Jurusan Sosiologi Agama mengadakan kegiatan public speaking class dengan tema Meningkatkan Kepercayaan Diri Cermin Leadership yang di pantik oleh Achmad Nur Kholis (Mahasiswa Universitas Sebelas Maret) dan di moderatori oleh Nurul Arifah (Mahasiswi IAIN Tulungagung). Kelas public speaking ini dilakukan secara virtual dirumah masing-masing menggunakan apps zoom.

     Dalam pembahasan pertama mengenai public speaking yaitu kegiatan penyampaian pesan berupa ide atau gagasan secara oral atau lisan, public speaking merupakan bentuk komunikasi dimana seorang pembicara menghadapi pendengar dalam jumlah yang relatif besar dan pembicara relatif kontinu. Dalam hal ini jika dikaitkan dengan mahasiswa sosiologi memiliki cukup banyak manfaat salah satunya tentang bagaimana mahasiswa sosiologi dapat berinteraksi dengan masyarakat secara mudah dalam menyampaikan apa yang ingin dijelaskan sehingga pendengar atau masyarakat dapat memahami ungkapannya secara jelas.


     Kesadaran pentingnya public speaking dikenali dalam peradaban manusia sejak berabad-abad. Sejarah mencatat bahwa public speaking telah dilakukan di Yunani dan romawi kuno. Aristoteles mengatakan bahwa retorika atau public speaking sebagai filsafat, sedangkan tokoh yang lain menekankan sebagai seni. Menurut Aristoteles tujuan public speaking adalah membuktikan maksud pembicaraan atau menampakkan pembuktian.


     Pada saat ini public speaking tidak hanya dilihat pada seni saja melainkan terfokus sebagai pengetahuan yang harus dipelajari untuk mencapai efektivitas pesan yang maksimal. Public speaking penting dipelajari karena sejarah membuktikan bahwa berbicara dapat digunakan untuk keperluan politis, sosial, dan psikologis.


     Setelah pemateri menjelaskan pentingnya skil publik speaking untuk jurusan SA. Tentu untuk melatih skill publik speaking banyak yang harus dipelajari seperti artikulasi, pemilihan kata, volume dll. Memberikan arahan memberikan arahan apa saja yang harus dipersiapkan ketika menghadapi demam panggung saat akan melakukan public speaking pertama melakukan latihan sebelum acara dimulai kedua mencari pengalamannya dan yang terpenting adalah dengan menganggap jika demam panggung adalah hal yang lumrah terjadi pada diri seseorang. Kita juga harus mempunyai dorongan dari diri kita sendiri agar kita bisa melakukan here tersebu. Selain itu juga bisa digunakan bahan untuk melakukan penelitian, riset, dan uji coba lapangan.


    Selesai pemateri memaparkan tentang public speaking para audiens sangat antusias. Ketika sesi ditanya jawab berlangsung banyak yang mengajukan pertanyaan serta memberikan kritik dan saran yang positif yang sangat membangun untuk kegiatan kedepannya.


    Setelah tanya jawab selesai peserta juga sangat puas dengan penjelasan yang diberikan oleh pemateri sehingga untuk mejadi moderator dan acara resmi lain dan bisa percaya diri. Disini juga kita semua di ajari gimana menjadi pembawa acara yang baik dan benar sehingga dalam acara atau even kita tidak gemetar dan lain sebagainya.


     Sehingga para peserta publik speaking kini bisa menjadi mahasiswa mandiri dan bijaksana berani menampilkan diri didepan semua orang dalam acara resmi dan juga non resmi.


Daftar Pustaka

Hendriyani, Yohana Purnama Dharmawan. Modul pengantar public speaking.

Rajiyem. 2 Juni 2005. Sejarah dan Perkembangan Retorika. Humaniora, vol 17.


Teori Interaksionalisme Simbolik

Penulis : Meilya Eka Herlina

     Jumat,12 Maret pukul 19.00-21.00 Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sosiologi Agama mengadakan kegiatan diskusi daring secara mingguan yang bernama FORMAD (Forum Mahasiswa FUAD) dengan tema “INTERAKSIONALISME SIMBOLIK” yang dipantik oleh Nikmatul Laili Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung dan ditemani oleh moderator Putri Cahyaningrum Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Dan diskusi ini dilakukan secara virtual di rumah masing-masing melalui WhatsApp Group.

    Tema pertemuan kali ini membahas tentang suatu Gambaran dari Interaksionalisme Simbolik seperti, akar histori utama interaksionalisme simbolik, tokoh-tokoh, Ide-ide George Herbert Mead, Prinsip-prinsip dasar Blumer, dan teori Horton Cooley tentang diri kaca.

    Interaksionalisme Simbolik merupakan,suatu teori yang didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensinya yaitu suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yaitu: Komunikasi, atau pertukaran simbol yang diberi makna. Menurut teori Interaksionalisme Simbolik “kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi yang menggunakan simbol-simbol untuk menunjukkan apa yang mereka maksud dengan tujuan untuk berkomunikasi. Dan akar histori utama interaksionalisme simbolik ada dua yaitu Filsafat pragmatism dan Behaviorisme psikologis.

    Pertama, Pragmatisme tokoh pelopornya yaitu George Herbert Mead ia adalah salah satu pelopor di dalam Filsafat Pragmatisme yang dinamakan pragmatism adalah menekankan hubungan yang sangat erat antara pengetahuan serta tindakan untuk mengatasi masalah sosial..Pragmatism berasal dari kata “Pragma” berasal dari Bahasa Yunani yang berarti tindakan, perbuatan, atau perilaku. Titik tekan pada pandangan pragmatism ini adalah nilai kemanfaatan, sehingga sesuatu tersebut dianggap memiliki standar kebenaran jika ia mempunyai suatu aspek atau nilai kemanfaaatan.

    Kedua, Behaviorisme pandangan dari suatu teori Behaviorisme ini adalah bahwa perilaku individu merupakan sesuatu yang dapat diamati,maksudnya adalah mempelajari suatu tingkah laku manusia secara obyektif dari uar, serta dari perilaku yang mendatangkan respon, tanpa melibatkan mental tersembunyi.

    Interaksionalisme Simbolik terdapat beberapa tokoh yang berperan aktif dan bersumbahsih melalui ide serta pemikirannya untuk mengembangkan interkasionalisme simbolik yakni, George Herbert Mead, Charles Horton Cooley, WI Thomas, Herbert Blumer, Dan Erving Goffman. Dari salah satu tokoh yang ikut andil dan berperan aktif yakni George Herbert Mead yang merupakan penggagas teori Interaksionalisme Simboliki dengan pemikiran dan idenya yaitu Prioritas sosial, Tindakan, Impuls, Persepsi, Manipulasi, Konsumsi, Gestur, Simbol, Mind (Pikiran), Self (Diri).

    Selanjutnya terdapat Prisip-prinsip dasar Blumer yaitu Pertama, Manusia bertindak atas sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. Kedua, Makna itu diperoleh dari interkasionisme sosial yang dilakukan dengan orang lain. Ketiga, Makna-makna tersebut disempurnakan dalam interaksionisme simbolik sosial yang sedang berlangsung.

    Dan yang terakhir membahas tentang Teori Horton Cooley tentang diri kaca yaitu Pertama, Seseorang membayangkan bagaimana suatu perilaku atau tindakannya tampak di mata orang lain. Kedua, Seseorang membayangkan bagaimana orang lain menilai tindakan atau perilaku tersebut. Ketiga, Seseorang membangun konsepsi tentang diri sendiri berdasarkan penilaian dari orang lain terhadap dirinya.

Referensi:

Ejournal.stp.ipnae.id.index.php.perspektif.article.download.PakarKomunikasi.com.Teori Interaksi Simbolik

Teori Konflik

 Penulis: Evania Fidyawati

     

     Jumat, 26 Februari 2021 pukul 19.00-21.00 Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sosiologi Agama mengadakan kegiatan diskusi daring mingguan yang bernama FORMAD (Forum Mahasiswa FUAD) dengan tema “Teori Konflik” yang dipantik oleh Ayom Puspa Ariani Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung dan ditemani oleh moderator yaitu Ineliyant Intan Ayu Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Diskusi ini dilakukan secara virtual dirumah masing-masing dengan menggunakan WhatsApp Group.

    Tema diskusi pada kali ini membahas tentang pengertian dari teori konflik, asumsi dasar teori konflik, tokoh-tokoh dari teori konflik, fungsi-fungsi dan manajemen dari teori konflik. Teori sendiri yaitu seperangkat pernyataan yang secara sistematis berhubungan atau sering dikatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang saling berkaitan yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atas fenomena yang ada dengan menunjukkan hubungan yang khas diantara variabel-variabel dengan maksud memberikan eksplorasi dan prediksi. 

    Konflik secara etimologis yaitu pertengkaran, perkelahian, dan perselisihan tentang pendapat, keinginan, atau perbedaan. Jika disimpulkan teori konflik adalah beberapa teori atau sekumpulan teori yang menjelaskan tentang peranan konflik, terutama antara kelompok-kelompok dan kelas-kelas dalam kehidupan sosial masyarakat. Teori konflik ini muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. 

    Pemikiran dasar dari teori ini adalah pemikiran dari Karl Marx pada tahun 1950-an dan 1960-an. Teori konflik juga menyediakan alternatif bagi teori struktural fungsional. Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya, Marx tidak mendefinisikan kelas secara rumit tetapi dia menunjukkan bahwa pada abad ke-19 di Eropa dimana dia hidup terdiri dari kelas pemilik modal atau barjuis dan kelas pekerja miskin atau ploreta. 

    Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional karena teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan, karena dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik atau ketegangan di dalam masyarakat. 

Tokoh teori konflik terbagi menjadi dua fase bagian yaitu teori dari tokoh sosiologi klasik dan teori dari tokoh sosiologi modern. Tokoh dari sosiologi klasik yaitu, Polybus, Ibnu Khaldun, Nicolo Machiavelli, Jean Bodin, Thomas Hobbes. Sedangkan tokoh dari sosiologi modern yaitu, Karl Marx, Lewis A. Coser, Ralf Dahrendorf

    Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi yang termasuk tingkah laku dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan interests dan interpretasi.

    Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga yang diperlakukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga. Bagi pihak luar atau orang yang ada di luar konflik sebagai pihak ketiga memerlukan informasi yang akurat tentang situasi konflik karena komunikasi efektif diantara pelaku dapat terjadi kepercayaan jika terdapat pihak ketiga. Menurut Rose bahwa memanajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pihak ketiga dari perselisihan kearah hasil tertentu yang menghasilkan ketenangan hal positif, kreatif, permufakatan, atau agresif

    Teori konflik tidak hanya berdampak negatif tetapi melainkan ada juga dampak positif yang dapat diambil seperti fungsi konflik menurut Lewis A.Coser yaitu : pertama, Konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang berstruktur secara longgar. Kedua, Konflik dapat membantu menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain. Ketiga, Konflik dapat membantu mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi. Keempat, Konflik juga dapat membantu fungsi komunikasi

    Konflik dapat berdampak positif juga dengan bagaimana cara kita menyikapi atau memanagemen konflik tersebut. Konflik bermakna sebagai pertentangan secara terbuka antara individu-individu, masyarakat-masyarakat, dan bangsa-bangsa. Seperti contoh yang terjadi di beberapa negara yaitu konflik antara beberapa negara biasanya disebabkan dengan hubungan antara negara Yahudi dan Islam dikalangan warga dunia yang menjadikan sensitif.

    Jika terjadi suatu konflik di masyarakat yang berdampak pada stratifikasi sosial atau biasanya disebut perbedaan posisi sosial individu masyarakat dapat terselesaikan dengan teori negosiasi. Teori negosiasi prinsip menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan dengan konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.

    Jadi solusinya adalah membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan isu serta mampu melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka dengan posisi yang sudah tetap dan melancarkan keuntungan dari kedua belah pihak. Jika teori negosiasi tidak berjalan dengan baik maka akan terjadi suatu situasi ketimpangan, di dalam ketimpangan tersebut dapat diselesaikan dengan teori teori konflik selanjutnya yaitu teori hidentitas. Teori hidentitas berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam yang menghilangnya sesuatu yang tidak diselesaikan dari teori negosiasi yang terjadi sebelumnya. 



Referensi: 

Aniek Rahmaniah,TEORI KONFLIK: RALF DAHRENDORF. 

Ikrom, Konflik Prita Vs Omni Pembacaan Teori DAHRENDORF The Dealektical Conflict Theory, Semarang: IAIN Walisongo Semarang, 2011 Vol 03, No 02. 

Mas’udi, AKAR-AKAR TEORI KONFLIK: Dialektika Konflik; Core Perubahan Sosial dalam Pandangan Karl Marx dan George Simmel, Kudus: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus, 2015, VOL 03, NO 01. 

M. Wahid Nur Tualeka, TEORI KONFLIK SOSIOLOGI KLASIK DAN MODERN, Surabaya: Universitas Muhammadiyah, 2017, Vol 3, No 1.